Oleh : Khairiyah Rizkiyah SST
Fungsional Statistisi BPS Provinsi Maluku Utara
Komoditas
bawang, terutama bawang merah, merupakan salah satu komoditas yang memiliki
peran penting dalam pembentukan inflasi nasional. Bawang merah juga merupakan
komoditas yang mempunyai kontribusi cukup besar dalam pembentukan Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB).
Beberapa hari terakhir, kenaikan
harga bawang merah di Ternate
cukup ramai diberitakan. Pusat Informasi Harga Pangan Nasional (PIHPS) bahkan mencatat, dalam lima hari terakhir,
komoditas bawang merah di Ternate menembus
harga Rp 60 ribu per kg,
jauh diatas rata-rata nasioanal yang sebesar Rp 35 ribu per kg.
Ini menempatkan Maluku
Utara (Malut) sebagai pemilik
harga bawang merah tertinggi secara Nasional.
Pola
Distribusi di Malut
Pola
distribusi yang efisien pada dasarnya bertujuan untuk menggerakkan suatu barang
dari produsen ke konsumen dengan biaya yang serendah-rendahnya, sehingga mampu
memberikan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan disertai
harga barang yang terjangkau bagi konsumen akhir. Salah satu ciri pola distribusi yang efisien adalah
rantai perdagangan yang pendek.
Selama
ini, pasokan bawang merah ke Ternate sebagian besar masih berasal dari daerah lain seperti seperti Surabaya,
Manado dan Makassar, serta dikirim
melalui jalur laut. Akibatnya, jika cuaca buruk, pasokan menjadi tersendat. Stok bawang merah
di pasar menjadi menurun dan harga pun meningkat
drastis.
Dinas Pertanian sebenarnya
sudah mendorong para petani untuk
mengembangkan budidaya
bawang, utamanya bawang merah. Wilayah malut, dianggap potensial baik dari segi kondisi lahan maupun iklimnya.
Bahkan dalam dua tahun terakhir
Halmahera Timur dan Tidore Kepulauan sudah memproduksi
bawang merah dengan kualitas yang tidak kalah dibanding bawang merah dari luar malut.
Berdasarkan Survei Pola Distribusi
(Poldis) 2017
yang
dilakukan Badan Pusat
Statistik (BPS), pola distribusi perdagangan
bawang merah di malut, termasuk dalam kategori
rantai perdagangan terpendek. Pola utama Perdagangan bawang merah di malut dimulai dari
petani, pedagang eceran, lalu konsumen akhir. Pola ini berpotensi bertambah
panjang ketika hasil produksi
dari petani, harus
melalui pedagang pengepul sebelum menuju pedagang eceran.
Masih
berdasarkan survei yang sama, Petani
menyalurkan sebesar 43,53 % hasil produksinya ke pedangan pengepul, dan sebesar 47,81 % ke pedagang
eceran. Data tersebut sebenarnya menunjukkan pola distribusi yang efisien, dan seharusnya berdampak pada harga komoditas yang
terjangkau. Tapi fakta di lapangan justru masih mencerminkan hal
yang sebaliknya.
Margin
yang Terlampau Besar
Meski
memiliki rantai perdagangan yang pendek, ternyata margin perdagangan dan
pengangkutan (MPP) bawang merah di malut masih cukup tinggi. Survei Poldis 2017
menunjukkan, MPP bawang merah di malut mencapai 58,61%. Angka ini
mengindikasikan besaran kenaikan harga bawang merah dari petani hingga sampai ke tangan konsumen akhir. MPP malut tersebut, masih jauh diatas MPP
nasional yang sebesar 43,56 %.
Tingginya
MPP bisa mengindikasikan dua hal.
Pertama, stok yang dihasilkan petani di malut belum dapat mencukupi kebutuhan masyarakat malut.
Stok yang kurang menyebabkan harga bawang merah tetap tinggi, dan pedagang
tetap
mengambil
bawang merah dari provinsi lain.
Kedua,
tingginya MPP di
malut bisa berati tidak adanya regulasi pasti terkait harga
jual
komoditas ini. Jika memang pengembangan budidaya bawang merah dimaksudkan untuk
melepaskan ketergantungan malut pada bawang merah dari provinsi lain, maka alangkah baiknya jika harga bawang
merah lokal bisa dijual lebih murah daripada bawang merah dari luar malut. Hal ini bisa menjadi
salah satu cara agar
bawang merah lokal lebih diminati.
Menuju Malut Mandiri
Meski rantai perdagangan di
malut pendek, harga bawang merah masih sangat
tinggi. Hal ini, selain karena stok lokal yang memang belum mencukupi, juga
disebabkan ketergantungan malut pada pasokan dari provinsi lain yang belum
bisa dilepas.
Ketergantungan ini masih
menjadi pekerjaan rumah bersama, baik pemerintah maupun masyarakat untuk dapat
mewujudkan malut yang mandiri. Pemerintah sebagai pemberi dukungan harus lebih
giat dalam mendorong para petani untuk membudidayakan bawang merah dan
meningkatkan hasil produksinya, baik melalui penyuluhan, maupun bantuan berbagai
jenis barang modal. Selain itu, pemerintah diharapkan dapat ikut membantu menaikkan daya saing hasil produksi
melalui regulasi harga yang tepat, agar bawang merah lokal dapat dijual dengan harga
yang terjangkau.
Kemandirian ini diharapkan
juga dapat berlaku untuk bahan pangan lainnya yang banyak dikonsumsi masyarakat
malut, seperti cabai dan tomat. Memang sampai hari ini belum pernah kita dapati
masyarakat malut berdemo karena harga pangan yang terlampau mahal, namun jangan
sampai ketahanan pangan kita terabaikan
dan menjadi bom waktu yang bisa meledak di masa mendatang. (*)
*Telah dipublikasikan di harian Malut Post edisi Kamis, 26 April 2018
0 komentar:
Post a Comment